Kisah ini diceritakan oleh sahabat kami, panggil saja dengan sebutan Rahma. *** Saat ini usia saya 24 tahun. Kisah ini bermula sejak saya menjadi murid sekolah dasar. Bisa dikatakan, saya ini lahir dari keluarga yang memiliki tubuh subur. Bentuk tubuh yang besar dari orangtua saya menurun pada saya. Sejak lahir, ukuran tubuh saya memang lebih besar dibandingkan anak-anak sebaya saya. Orang tua saya sudah menduga bahwa saya memiliki bakat bertubuh besar seperti mereka. Masalah mulai timbul saat saya duduk menjadi murid di kelas 3 sebuah sekolah dasar. Entah siapa yang memulai, teman-teman saya mulai memberi julukan "Gendut!". Saat itu, saya sadar kalau tubuh saya memang lebih besar dari teman-teman saya, tetapi tetap saja, saya merasa malu dan menangis sepulang dari sekolah. Saat itu ibu saya mengatakan, "Tidak apa-apa, tunjukkan pada mereka kalau kamu tidak hanya besar tubuhnya, tetapi prestasinya juga," Ucapan dari ibuku menguatkanku, sehingga saya tidak pusing memikirkan ejekan teman-temanku. Walaupun pada saat itu, saya sering mengalami kesulitan saat pelajaran olahraga. Saat saya harus melakukan olahraga roll ke depan (berguling ke depan di atas matras), teman-teman saya tertawa dan mengatakan bahwa saya terlihat seperti bola yang menggelinding. Ejekan itu membuat saya menangis diam-diam di kamar mandi sekolah. Sengaja kejadian itu tidak kuceritakan pada ibu, saya takut ibu sedih. Saat saya masuk ke SMP dan SMA, saya menjadi anak pendiam. Ejekan itu masih melekat. Saya akui, hal tersebut berpengaruh pada berkurangnya rasa percaya diri, walaupun saya tetap menjaga kata-kata ibu untuk tetap berprestasi. Nilai-nilai saya di sekolah selalu baik, setidaknya tiga besar selalu saya raih. Tetapi saya tetap remaja perempuan saat itu, saya sering iri melihat teman-teman saya bisa memakai baju yang cantik-cantik, sedangkan saya, sulit sekali mencari baju untuk ukuran tubuh saya yang besar. Semakin banyaknya iklan televisi yang menampilkan wanita-wanita bertubuh langsing membuat rasa iri saya semakin menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan maraknya program diet untuk menurunkan berat badan. Saat itu saya masih SMA dan tertarik untuk melakukan diet, tapi ibu saya menolak. Beliau bilang, saya masih dalam masa pertumbuhan, tak baik jika membatasi asupan makanan. Saya tahu bahwa pemikiran ibu benar, tetapi keinginan untuk menurunkan berat badan dan memakai pakaian cantik membuat saya nekat memangkas porsi makan sehari-hari, tentunya tanpa sepengetahuan ibu saya. Tak perlu menunggu hingga satu bulan, di minggu ketiga, saya ambruk dan dilarikan ke rumah sakit. Dokter menyatakan kalau saya mengalami kekurangan gizi. Bukan langsing yang didapat, tetapi menginap di rumah sakit selama tiga hari. Dirawat di rumah sakit membuat Rahma ingat untuk tidak terus-menerus menyalahkan Tuhan atas bentuk tubuhnya. Rahma diterima di salah satu universitas Australia. Sejak kejadian itu, saya tidak lagi melakukan diet karena ujian akhir kelulusan SMA semakin dekat, saya berkonsentrasi pada ujian. Ibu saya mengatakan bahwa tubuh saya ini adalah anugrah dari Tuhan yang harus disyukuri, saya memang berbakat gemuk sehingga sangat sulit jika ingin selangsing tubuh para model. Selama saya bisa menjaga asupan makanan bernutrisi saya tak terlalu khawatir. Bersyukur pada Tuhan adalah hal yang dikedepankan ibu saya. Saya lakukan hal itu dengan terus mengucap syukur setiap kali berdoa. Saya telah dilimpahi berbagai berkah, khususnya ibu saya yang selalu ada di samping saya untuk menguatkan hati saya setiap saat. Rasanya tak pantas jika saya terus mengeluh dan menyalahkan Tuhan karena memberi saya tubuh yang besar. Dan Tuhan memang baik, sebelum hari kelulusan SMA, saya mendapat kabar bahwa saya diterima pada salah satu universitas di Australia. Yang lebih menggembirakan, saya mendapat beasiswa 100%, orang tua saya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk masa kuliah saya. Saya menangis senang karena setidaknya saya bisa meringankan beban orang tua. Selepas SMA, saya menetap di Australia. Walaupun jujur, saya selalu kangen dengan keluarga saya, terutama ibu. Tetapi pengalaman ini saya jadikan pelajaran agar saya makin mandiri. Di Australia, tidak ada seorangpun yang memanggil saya "Gendut!" kalaupun ada, telinga saya sudah kebal dan akan saya anggap sebagai panggilan sayang. Masa kuliah saya habiskan dengan cepat, dan lagi-lagi dengan prestasi yang membanggakan. Setelah saya kembali ke Indonesia, saya mendapat tawaran sebagai staf produksi salah satu pengusaha kain Indonesia yang sering melakukan ekspor ke Australia. Saya tak menolak tawaran itu, dan bekerja sebaik mungkin. Tubuh saya yang besar tak menjadi halangan. Berkat kerja keras dan doa yang tak pernah putus, saat ini saya sudah menjadi salah satu orang kepercayaan pengusaha tersebut untuk mengembangkan bisnisnya. Bisa dikatakan, penghasilan saya jauh lebih besar dibandingkan teman-teman semasa SD yang mengejek saya dengan sebutan "Gendut!". Sekarang, saya telah menikah dan memiliki seorang putri yang sudah berusia 2 tahun. Tak ada lagi minder atau tidak percaya diri. Saya bahagia dengan keluarga kecil ini. Pengalaman hidup saya dan ejekan di masa lalu menjadi penguat hidup saya bahwa fisik tidak seharusnya menjadi penghalang seseorang dalam berkarya dan menghasilkan sesuatu yang baik untuk orang lain. Seperti yang sering dikatakan ibu saya, "Tubuh boleh besar, prestasi juga harus besar," Semoga kisah saya bermanfaat dan dijadikan pelajaran untuk para pembaca DD. Terima kasih. *** Mengatakan orang lain gemuk tidak akan membuat Anda jadi kurus. Memanggil orang lain dengan sebutan bodoh tidak akan membuat Anda menjadi pintar. sumber Jangan lupa di like dan Follow Twitter | @osserem
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar